Minggu, 26 Juli 2009

selektivitas relasi sosioemosional Laura Carstensen

Penelitian awal yang dilakukan oleh Laura Cartensen menurunkan dua hipotesis dari Teori Selektivitas Sosioemosional, (1) penurunan selektivitas dalam interaksi sosial mulai pada usia dewasa awal, (2) kedekatan emosional terhadap orang lain yang signifikan lebih meningkat pada usia dewasa. Frekuensi interaksi dengan orang baru dan orang dekat menurun mulai usia dewasa awal. Frekuensi interaksi dengan pasangan hidup dan saudara meningkat di periode usia yang sama dan kedekatan emosional meningkat sepanjang usia dewasa dalam relasinya dengan orang lain dan teman dekat.
Teori Selektivitas Sosioemosional dikenalkan oleh Psikolog Stanford, Laura L. Cartensen, PhD, (1992, 1998, 2001, 2002), Direktur dari Stanford Center on Longevity, yaitu kesadaran seseorang terhadap berapa banyak waktu yang dihabiskannya untuk kehidupan afeksi mereka. Atau penjelasan lain dari teori selektivitas sosioemosional adalah dorongan motivasional dalam membentuk ukuran dan komposisi jaringan sosial, dan bagaimana perubahannya dalam kehidupan. Teori ini memiliki dua kategori tujuan, (1) future oriented goals (FOG), yaitu meliputi bagaimana perolehan pengetahuan, rencana karir, perkembangan dari hubungan sosial dan bagaimana usaha-usaha yang akan dilakukannya untuk masa depannya; (2) present oriented goal (POG), yaitu mencakup regulasi emosi, bagaimana menjalin interaksi emosional yang menyenangkan dengan pasangan sosial, dan berbagai usaha lain yang manfaatnya bisa dirasakan saat sekarang.
Ketika seseorang memandang masa depannya terbuka luas dan tiada akhir, ia cenderung fokus pada FOG, tapi jika sebaliknya, seseorang yang merasa waktu berjalan begitu cepat, maka ia cenderung fokus pada POG. Peneliti teori ini umumnya membanding dua kelompok rentang usia, misalnya usia dewasa awal dan dewasa akhir, namun perubahan prioritas tujuannya merupakan proses yang gradual, dan mulai pada saat memasuki usia dewasa awal. Dan diperdebatkan bahwa yang membuat perubahan tujuan bukanlah usia, melainkan perubahan usia yang diasosiasikan dengan perspektif waktu. Seseorang yang berada pada usia dewasa awal jika ternyata ia dibatasi waktu hidupnya karena penyakit yang dideritanya, atau adanya perubahan dalam hidup maka ia bisa mengubah tujuannya menjadi POG. Demikian pula pada seseorang yang berada pada usia dewasa akhir, bila ia memiliki pandangan masa depan yang masih panjang, maka ia akan bertujuan FOG.
Pada umumnya di usia dewasa akhir atau usia tua, seleksi terhadap memilih teman terjadi karena adanya perbedaan kualitas daripada kuantitas. Di dewasa awal, pertemanan dijadikan media untuk mendapatkan informasi. Di dewasa akhir, orang memilih teman berdasarkan seberapa besar kontribusi teman tersebut terhadap emotional well-being. Sehingga mereka cenderung memilih relasi yang dalam dengan keluarga dan teman dekat (Cartensen, 1998). Hubungan sosial bagi dewasa akhir disebut sebagai hubungan yang dapat memberi kepuasan, dukungan dan memenuhi kebutuhan emosional.
Di usaha dewasa akhir, pernikahan lebih memiliki hubungan positif daripada negatif, kedekatan hubungan antar saudara kembali terjalin dan hubungan dengan anak lebih baik dari sebelumnya. Orang dewasa akhir memiliki frekuensi interaksi dengan orang lain lebih sedikit daripada dewasa awal dan bagi mereka hal ini bukanlah waktu yang menyedihkan, kaku, dan melankolis. Berbeda dari penjelasan awal, penurunan jarak dari reorganisasi hirarki tujuan emosional didasarkan pada motivasi kontak sosial dan memegang peranan dalam selektivitas pasangan sosial. Reorganisasi ini bukanlah terjadi secara kebetulan. Definisi diri, perolehan informasi dan regulasi emosi secara berurutan terjadi, tidak tergantung pada pengalaman sebelumnya tapi merupakan suatu kejadian dalam kehidupan saat ini seiring tumbuhnya harapan tentang masa depan. Tujuan perkembangan emosi di usia dewasa akhir dihasilkan dari recognition dari akhir kehidupan. Kebanyakan di dalam kehidupan orang hal tersebut tidak muncul secara tiba-tiba di usia tua tapi sepanjang usia dewasa.
Ketika regulasi emosi menjadi dasar dari motif sosial, pasangan sosial yang sesuai akan dipilih oleh seseorang. Pasangan tersebut merupakan teman jangka panjang, karena mereka cenderung akan memberikan pengalaman positif dan memperkuat self. Perolehan informasi akan memotivasi beberapa perilaku sosial namun hal ini juga dijadikan dasar dalam memilih teman sosial.
Indikasi selektivitas sosioemosional dikaitkan dengan karakteristik kepribadian dan status keluarga. Kepribadian extravert, terbuka terhadap pengalaman dan neuroticism dikaitkan dengan mencari jaringan sosial di segala aspek tapi tidak terkait dengan hubungan yang didasarkan pada kedekatan emosi. Status keluarga terkait dengan hubungan yang didasarkan pada kedekatan emosional. Ditemukan dalam penelitian bahwa pengaruh besar terhadap individu dewasa akhir dalam menjalin relasi sosial adalah kontekstual daripada faktor kepribadian.

Kamis, 12 Maret 2009

Anak Anda..

Tahapan anak :

1. Masa Kandungan

Pada masa ini ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh ibu, yaitu :

· Asupan gizi, yang penting bukan volume makanan tapi kualitasnya, 4 sehat 5 sempurna. Kata orangtua dulu sih, makanan bergizi, sedikit tapi sering.

· Ketenangan psikis, ini juga sangat penting, ingat anak anda juga merasakan apa yang anda rasakan, pikirkanlah hal2 positif, dan banyaklah berdzikir, mengaji, sodaqoh dan ibadah lainnya.

2. Usia Bayi (0-2 thn)

Hal yang menarik dari usia ini adalah pesatnya perkembangan anak. Tiba2 tertawa, tiba2 bisa mengucap kata, tiba2 bisa merangkak, tiba2 berjalan, dll.

Yang perlu diketahui adalah : untuk perkembangan motorik, sebaiknya sudah berjalan di usia ±1 tahun, dan paling lambat 18 bulan. Namun jangan khawatir banyak pengalaman lain dimana anak baru bisa berjalan di usia 2-4 tahun, yang penting ortu tenang dan banyak2 bersyukur, namanya manusia insyaAllah ntar juga jalan J.

3. Usia Balita

Usia ini sering disebut usia negativistic, yaitu anak mulai banyak membangkang, bikin kesel ortu, susah diatur. Ini hal yang wajar karena mereka sudah banyak keinginan namun seringkali tidak diimbangi dengan penalarannya, sehingga sering keluar kata2 why. Tapi jangan salah, usia ini juga dikenal dengan gold-age. Intinya adalah anak di usia ini sebaiknya banyak diberi stimulus positif, karena otaknya siap menerima informasi dan menyimpannya, kognisi & fisiknya siap belajar mengenal dunia. Contohnya anak berlari cepat dan memanjat berbagai rintangan, anak mengenal huruf & berlatih membaca, anak diajarkan hal2 baik seperti moralitas (pengenalan baik-buruk, benar-salah), altruisme (keikhlasan menolong orang lain), dll.

4. Usia Anak (6-11 thn)

Di usia ini, anak tidak terlalu banyak merepotkan (seharusnya). Disini anak mulai mengenal banyak permainan sulit, kerjasama dengan teman, mandiri, menentukan pilihannya. Terkadang anak disibukkan dengan berbagai kegiatan (selain sekolah), tidak apa2 sih asalkan tetap dipertimbangkan minat dan kemampuannya, jangan dipaksakan. Anak sudah mulai bisa berargumentasi. Dan warning, hati2 dengan siaran televisi yang tanpa standar filter yang baik, sebaiknya anak diarahkan jangan terlalu banyak menonton hal2 yang terlalu vulgar dan seringkali hanya menonjolkan materi dan kekerasan (mis. Sinetron, acara gossip, berita kekerasan, dll)

5. Remaja

Naah, di usia ini bukan berarti ortu bisa tenang, justru ortu harus lebih waspada dengan keadaan anak. Mereka matang secara fisik, namun dari sisi mental dan emosi seringkali belum stabil. Banyak2 berinteraksi melalui komunikasi yang positif dengan anak. Jangan langsung men-cut atau menggurui anak, remaja tidak suka itu. Cobalah untuk menjadi teman, dengarkan setiap detail ceritanya, dan pancing sampai anak mengeluarkan unek2, namun tidak berkesan memanjakan. Sediakan waktu sebanyak mungkin untuk anak anda, meskipun anda bekerja…

Saya percaya, anak adalah segalanya untuk Anda, namun tetap mereka adalah titipan Allah…, cinta kita yang terbesar hanya untuk Allah SWT & Rasul-Nya.

Semoga Anda sukses.. J

Selasa, 10 Maret 2009

Penerapan Disiplin Orang Tua


Hoffman, 1970, menjelaskan tiga bentuk penerapan disiplin pada anak :

(1) Love Withdrawal, melalui teknik orang tua menahan pemberian perhatian atau kasih sayang, atau memberi peringatan pada anak, seperti ”ibu akan pergi jika kamu tidak menurut”, ”ibu tidak suka kamu berperilaku seperti itu”, dsb.

(2) Power Assertion, mengontrol anak dengan menggunakan teknik displin kekerasan seperti mengancam anak, memukul atau anak tidak diberi kebebasan.

(3) Induction, mendiplinkan anak dengan menggunakan alasan dan penjelasan yang sesuai perkembangannya, misalnya ”jangan memukulnya, dia hanya mencoba membantumu”, ”mengapa kamu meneriakinya? Dia tidak sengaja melakukannya”, dsb.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang paling efektif dalam perkembangan moral positif bagi anak adalah teknik inducement.

Sedikit tentang Moral

Apa Itu Perkembangan Moral

Perkembangan moral mencakup perubahan dalam pemikiran, perasaan, dan pandangan tingkah laku mengenai benar dan salah

Perkembangan moral memiliki 2 dimensi:

  1. Intrapersonal à mengatur aktifitas seseorang, kapan ia diterima

dalam interaksi sosial

  1. Interpersonal à mengatur interaksi sosial dan mengadili konflik


Pertanyaan dasar tentang moral:

Bagaimana alasan atau pemikiran individual tentang keputusan moral?

Bagaimana individu bertingkah laku dalam keadaan moral?

Bagaimana perasaan individu tentang persoalan moral?

Apa karakteristik dalam kepribadian moral seseorang?

Keempat pertanyaan moral tersebut mencakup pemikiran tentang pikiran, tingkah laku, perasaan, kepribadian yang berkaitan dengan perkembangan moral seseorang


* Keluarga dan Perkembangan Moral

Kohlberg menganggap peranan keluarga tidak terlalu penting dalam perkembangan moral seseorang. Kohlberg berpendapat relasi antara orang tua-anak selalu menyediakan sedikit kesempatan bagi anak untuk give-and-take atau perspective taking. Tetapi kesempatan tersebut lebih banyak didapatkan dari relasi dengan teman sebaya

* Gender dan Pandangan tentang kepedulian

Carol Gilligan mengatakan bahwa teori kohlberg terlihat bias dari sudut pandang gender.

Kohlberg à Justice Perspective

Didasari oleh norma laki-laki yang menggunakan prinsip yang abstrak antara relasi dan perhatian untuk yang lainnya dan melihat seseorang secara individual dalam membuat keputusan moral.

Gilligan à Care Perspective

Dimana perspektif moral yang memandang orang dengan menghubungkan orang yang satu dengan yang lainnya

Gilligan menemukan bahwa perempuan secara konsisten menginterpretasikan dilema moral dalam relasi manusia dan dasar interpretasinya adalah pada mendengar dan melihat.


Altruisme

Altruisme ialah suatu minat yang tidak mementingkan diri sendiri dalam menolong seseorang.

Timbal balik dan pertukaran (reciprocity and exchange) terlibat dalam altruisme. Timbal balik ditemukan di seluruh dunia manusia. Timbal balik mendorong anak-anak untuk berbuat baik kepada orang lain sebagaimana mereka mengharapkan orang lain berbuat yang sama kepada mereka. Barangkali kepercayaan adalah prinsip yang paling penting untuk jangka panjang dalam altruisme. Rasa bersalah dapat muncul di permukaan kalau anak tidak membalas (melakukan timbal balik), dan kemarahan dapat terjadi kalau seseorang tidak melakukan timbal balik. Tidak semua altruisme dimotivasi oleh timbal balik dan pertukaran, tetapi interaksi dan reaksi dengan orang lain dapat menolong kita memahami hakekat altruisme. Keadaan-keadaan yang paling mungkin melibatkan altruisme ialah emosi yang empatis terhadap seseorang yang mengalami kebutuhan atau suatu relasi yang erat antara dermawan dan penerima derma.

William Damon menggambarkan suatu urutan perkembangan altruisme anak-anak, khususnya berbagi (sharing). Hingga usia 3 tahun, berbagi dilakukan karena alasan-alasan yang nonempatis; pada kira-kira 4 tahun, kombinasi kesadaran empatis dan dukungan orang dewasa menghasilkan suatu rasa kewajiban untuk berbagi; pada tahun-tahun awal sekolah dasar, anak-anak mulai secara sungguh-sungguh memperlihatkan gagasan-gagasan yang lebih obyektif tentang keadilan. Pada masa ini prinsip keadilan mulai dipahami; pada tahun-tahun pertengahan dan akhir sekolah dasar, prinsip-prinsip prestasi dan kebajikan dipahami.



Jumat, 06 Februari 2009

Period of Storm and Stress pada Remaja

Period of storm and stress pada Remaja

Psikologi memandang periode remaja sebagai periode yang penuh gejolak dengan menamakan period of storm and stress. Arnett menarik tiga tantangan tipikal yang secara general biasa dihadapi oleh remaja; (1) konflik dengan orangtua, (2) perubahan mood yang cepat, dan (3) perilaku beresiko (dalam Laugesen, 2003)
Peran teman sebaya yang mulai ‘menggeser’ peran orangtua sebagai kelompok referensi tidak jarang membuat tegang hubungan remaja dan orangtua. Teman sebaya menjadi ukuran bahkan pedoman dalam remaja bersikap dan berperilaku. Meskipun demikian studi Stenberg menemukan bahwa teman sebaya memang memiliki peran yang penting bagi remaja, namun pengaruh teman sebaya cenderung pada hal-hal yang berhubungan dengan gaya berpakaian, musik dan sebagainya. Sementara untuk nilai-nilai fundamental, remaja cenderung tetap mengacu pada nilai yang dipegang orangtua termasuk dalam pemilihan teman sebaya, biasanya juga mereka yang memiliki nilai-nilai sejenis (dalam Perkins,2000).
Mood yang naik turun juga sering terdengar dari celetukan remaja. Ada dua mekanisme di mana mood mempengaruhi memori kita. (1) Mood-dependent memory ,suatu informasi atau realita yang menimbulkan mood tertentu, atau (2) Mood congruence effects, kecenderungan untuk menyimpan atau mengingat informasi positif kala mood sedang baik, dan sebaliknya informasi negatif lebih tertangkap atau diingat ketika mood sedang jelek (Byrne & Baron, 2000). Bisa dibayangkan bagaimana perubahan mood yang cepat pada remaja terkait dengan kecemasan yang mungkin terbentuk.
Remaja juga mempunyai reputasi berani mengambil resiko paling tinggi dibandingkan periode lainnya. Hal ini pula yang mendorong remaja berpotensi meningkatkan kecemasan karena kenekatannya sering mengiring pada suatu perilaku atau tindakan dengan hasil yang tidak pasti. Keinginan yang besar untuk mencoba banyak hal menjadi salah satu pemicu utama. Perilaku nekat dan hasil yang tidak selalu jelas diasumsikan Arnett membuka peluang besar untuk meningkatnya kecemasan pada remaja (dalam Laugesen, 2003)
Studi Laugesen (2003) secara khusus menunjukkan dua hal penting yang bisa menjadi acuan; (1) intoleransi terhadap ketidakpastian dan orientasi negatif terhadap masalah merupakan target utama baik dalam pencegahan maupun perlakuan pada kecemasan yang berlebihan dan tidak terkendali pada remaja, (2) intoleransi terhadap ketidakpastian juga menjadi konstruk utama dalam kecemasan remaja. Hal lain yang sangat menarik dalam temuan Laugesen adalah intoleransi pada remaja berkorelasi dengan persepsi tentang tugas ambigu, namun tidak dengan kecemasan. Hal ini menunjukkan bahwa intoleransi dan kecemasan sebagai konstruk yang unik.
Intoleransi menjadi kunci penting dalam memahami kecemasan pada remaja. Secara logika bisa dipahami bahwa ketidakmampuan individu dalam menerima ketidakpastian sebagai salah satu kenyataan yang akan dihadapi cukup menggambarkan diri orang tersebut. Hal ini juga menarik untuk kembali melirik teori dan studi tentang diri. Laugesen (2003) juga menguji tingkat kecemasan (tinggi dan rendah), di mana intoleransi tetap berperan di dalamnya. Remaja atau individu yang bagaimana tepatnya yang berpeluang untuk mengalamai kecemasan tinggi, tidak terkendali, atau yang wajar?
Self
Pada model kognitif orientasi negatif pada masalah, individu juga memiliki kecenderungan untuk meragukan kemampuan diri dalam menyelesaikan masalah yang datang. Hal ini menunjukkan peran self-efficacy dalam pembentukkan rasa cemas. Bandura (dalam Brown, 2005) menyatakan self-efficacy sebagai “a belief that one can perform a specific behavior,” dan “Self-efficacy is concerned not with the skills one has but with judgement of what one can do with whatever skills one possesses.” Individu dengan self-efficacy tinggi meyakini bahwa kerja keras untuk menghadapi tantangan hidup, sementara rendanhya self-efficacy kemungkinan besar akan memperlemah bahkan menghentikan usaha seseorang.
Pencarian identitas menjadi salah satu aikon pada masa remaja. Hal ini membawa kita untuk menelisik lebih jauh tentang self-concept yang ada maupun yang sedang terbentuk. Konsep diri merupakan cara individu memandang dirinya sendiri. Baron & Byrne (2000) merumuskan sebagai berikut, “self concept is one’s self identity, a schema consisting of an organized collection of beliefs and feelings about oneself.” Konsep diri berkembang sejalan dengan usia, namun juga merespons umpan balik yang ada, mengubah lingkungan seseorang atau status dan interaksi dengan orang lain. Pertanyaan “Siapa Anda? Siapa saya?” menjadi inti studi psikologi tentang konsep diri. Rentsch & Heffner (1994, dalam Byrne & Baron, 2000) menyimpulkan dari sekian ragam jawaban atas pertanyaan tersebut dalam dua kategori; (1) aspek identitas sosial dan (2) atribusi personal. Sebagian dari kita akan menjawab, Saya adalah arsitek, penulis, mahasiswa, dan lain sebagainya yang mengacu pada identitas sosial seseorang. Sebagian dari kita yang lain akan menjawab Saya periang, terbuka, pemalu, dan sebagainya yang lebih merujuk pada atribusi diri.
Sementara Rogers (2001) membagi konsep diri dalam dua kategori yang sedikit berbeda yakni (1) personal dan (2) sosial. Konsep diri personal adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri dari kacamata diri, Sedangkan konsep diri sosial berangkat dari kacamata orang lain, Rogers menambahkan bahwa konsep diri individu yang sehat adalah ketika konsiten dengan pikiran, pengalaman dan perilaku. Konsep diri yang kuat bisa mendorong seseorang menjadi fleksibel dan memungkinkan ia untuk berkonfrontasi dengan pengalaman atau ide baru tanpa merasa terancam.
Lebih lanjut, pembahasan konsep diri membawa kita pada self-esteem, sebagai evaluasi atau sikap yang dipegang tentang diri sendiri baik dalam wilyah general maupun spesifik. Para ahli psikologi mengambil perbandingan antara konsep diri dengan konsep diri ideal atau yang diinginkan. Semakin kecil perbedaan atau diskrepansi antara keduanya, semakin tinggi self-esteem seseorang, “He/she is what he/she wants to be.” Salah satu hasil yang dituju dalam terapi Rogerian (self-centered therapy) adalah peningkatan self-esteem atau menurunkan gap antara diri dan diri ideal dalam seseorang.
Budaya & Perkembangan Budaya
Satu lagi yang perlu dipertimbangkan adalah faktor budaya. Perbedaan budaya memiliki pengaruh pada individu dalam menilai pengalaman emosi. Studi menunjukkan, di masyarakat kolektif, self critical menjadi norma, sementara di masyarakat individual, self enhancement yang berlaku (Baron & Byrne,2000). Hal ini memberikan sedikit petunjuk tentang apa yang menjadi obyek perhatian individu dalam berpikir, bersikap dan bertindak.
Masih terbuka banyak jalan untuk memahami kecemasan yang dialami remaja.
________________________
Referensi:
Baron, Robert A, & Byrne, Donn (2000) Social psychology-ninth edition. Boston; Allyn and Bacon.
Brown, Ulysses J. (2005) College students and AIDS awareness: the effects of condom perception and self-efficacy. College Student Journal, March 2005.
Laugesen, Nina (2003) Understanding adolescent worry: the application of a cognitive model. Journal of Abnormal Child Psychology, Feb.2003
Perkins, daniel F. (2000) Resiliency and trhiving in family and youth. Vol.1.No.1,March 2000
Rogers,Carl (2001) Gale encyclopedia of psychology, 2nd ed. Gale Group,2001.